MERDEKA.COM, Wajah Mahmud, 20 tahun, tampak
kusut. Ia sedang berpikir keras bagaimana mengumpulkan biaya
pernikahannya. Waktunya kian dekat. Ia mencoba mengusir kegalauan dengan
berjalan-jalan di luar rumahnya di utara Jalur Gaza, dekat dengan
perbatasan Israel.
Tiba-tiba pasukan penjaga perbatasan Israel menghentikan langkahnya. Ia ditanyai apa sedang ia lakukan di sana. “Saya bilang kepada dia saya sangat tertekan karena hari pernikahan saya tinggal sebentar lagi dan saya tidak punya cukup uang untuk itu,” kata Mahmud menjawab pertanyaan seorang tentara intelijen, seperti dilansir surat kabar Yediot Ahronot.
Tiba-tiba pasukan penjaga perbatasan Israel menghentikan langkahnya. Ia ditanyai apa sedang ia lakukan di sana. “Saya bilang kepada dia saya sangat tertekan karena hari pernikahan saya tinggal sebentar lagi dan saya tidak punya cukup uang untuk itu,” kata Mahmud menjawab pertanyaan seorang tentara intelijen, seperti dilansir surat kabar Yediot Ahronot.
Serdadu itu menawarkan bantuan dengan imbalan Mahmud mengawasi dua lelaki tetangganya yang merupakan anggota Brigade Izzudin al-Qassam (sayap militer Hamas). Sesuai kesepakatan, tugas itu dimulai sebulan menjelang akad nikahnya. Imbalannya 1.000 shekel atau US$ 275 untuk tiap informasi ia setor.
“Ia lantas memberi saya 1.000 shekel dan sebuah kartu perdana Israel,” ujar Mahmud mengenang peristiwa empat tahun lalu itu. Sejak itu, ia menjadi informan tentara Zionis. Sejatinya, ia tidak ikhlas berkhianat. Namun saban kali berbohong, herannya militer Israel tahu informasi ia berikan salah.
Dengan upah sebagai pengkhianat, ia bisa menabung buat ongkos kawinnya. Setelah bekerja sekitar setahun, ia ditangkap aparat keamanan Hamas pada 2008. Para sepupunya membocorkan pekerjaan rahasia Mahmud itu. “Saya mengakui semuanya,” kata Mahmud yang sedang meringkuk di pojok selnya. Matanya menatap tajam ke lantai. Ia divonis hukuman kurungan seumur hidup karena terbukti berkhianat.
Rekan satu selnya, Shadi, juga punya pengalaman serupa setelah ditangkap dekat perbatasan Israel. Ia merasa terpaksa menjadi mata-mata negara Yahudi itu. “Saya setuju karena takut dan membutuhkan fulus,” ujar lelaki 21 tahun ini kepada kantor berita AFP. Serdadu Israel memberi upah 500 shekel untuk tiap laporan diberikan.
Kepada Shadi, mereka menuntut lokasi dan nama-nama penembak roket ke wilayah selatan Israel. Sebagai pegiat Hamas, ia memiliki banyak kenalan di kelompok itu dan Brigade al-Qassam. Seperti Mahmud, ia berupaya berbohong, tapi selalu ketahuan.
Ia pernah mencoba kabur saat berjanji memberi laporan di daerah perbatasan. Namun bosnya berhasil menangkap dia ketika berusaha lari ke arah lokasi penembakan roket. “Saya (terpaksa) mengatakan semuanya,” kata Shadi. Akibat bekerja untuk militer Israel, ia divonis tujuh tahun penjara dan baru menjalani setahun.
Menurut direktur penjara Nassir Sulaiman, saat ini terdapat 40 tahanan bekas mata-mata Negeri Bintang Daud. “Kami sadar persoalan ekonomi akibat blokade menjadi alasan utama untuk berkhianat,” ujar Ihab al-Ghussein, juru bicara Kementerian Luar Negeri Hamas.
Bukan sekadar mendekam di tahanan, para pengkhianat itu juga ada yang dihukum mati. Human Rights Watch menyebut sejauh ini Hamas telah mengeksekusi 32 agen Israel dan lawan politik mereka.
Sumber: Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar