Sanksi ringan untuk para pemeras BUMN
MERDEKA.COM, Antiklimaks. Kata itu yang tepat untuk menggambarkan heboh Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan isu anggota DPR pemeras yang dilontarkannya. Badan Kehormatan (BK) DPR akhirnya mendapatkan kesimpulan dan membuat vonis atas kasus itu. Namun, hasilnya hanya berupa sanksi kategori ringan dan sedang.
Kamis (6/12) kemarin, Ketua BK DPR Muhammad Prakosa mengumumkan hasil rapat alat kelengkapan dewan yang dipimpinnya. Rapat yang digelar di Wisma DPR, Kopo, Puncak, Bogor, dilakukan dengan cara musyawarah mufakat. 10 Anggota BK termasuk pimpinan sepakat memberikan sanksi.
Kamis (6/12) kemarin, Ketua BK DPR Muhammad Prakosa mengumumkan hasil rapat alat kelengkapan dewan yang dipimpinnya. Rapat yang digelar di Wisma DPR, Kopo, Puncak, Bogor, dilakukan dengan cara musyawarah mufakat. 10 Anggota BK termasuk pimpinan sepakat memberikan sanksi.
Hasilnya seperti yang diungkapkan Prakosa, empat anggota dinyatakan melanggar etika seperti yang diatur dalam tatib DPR yang tercantum dalam UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Meski Prakosa tidak menyebutkan nama empat anggota yang diberi sanksi, di kalangan wartawan telah beredar empat nama itu adalah Achsanul Qosasi (FPD), Zulkifliemansyah (FPKS), Sumaryoto (FPDIP), dan Idris Laena.
Untuk tiga nama pertama, mereka adalah anggota Panitia Kerja Merpati yang diketahui hadir dalam rapat di ruang pimpinan Komisi XI DPR pada tanggal 1 Oktober 2012 yang lalu. Panja Merpati adalah alat kelengkapan Komisi XI DPR yang fokus mengurusi persoalan PT Merpati Nusantara Airlines.
Ketika itu, Merpati yang kesulitan modal dan terlilit utang, mengajukan permintaan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada pemerintah berjumlah Rp 500 miliar. Nah, keputusan untuk itu harus melalui Komisi XI DPR. Diduga, agar permintaan itu dikabulkan, beberapa anggota Komisi XI meminta jatah bagian. Dan permintaan itulah yang terindikasi disampaikan saat rapat khusus tersebut.
Sementara untuk Idris Laena, anggota Komisi VI DPR itu diduga meminta bagian kepada direksi PT Garam dan PT PAL. Modusnya sama, dalam konteks permintaan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diajukan kedua BUMN tersebut. Idris bahkan beberapa kali diketahui menemui dan menghubungi direksi PT Garam dan PT PAL.
"Ada empat orang yang diputuskan telah melanggar etika, kemudian ada 3 orang yang tidak terbukti, kemudian ada 3 orang yang salah identifikasi, atau dalam laporan satu Pak Dahlan Iskan melalui sumber Dirut Merpati," kata Ketua BK DPR Muhammad Prakosa dalam jumpa pers di Gedung Kompleks Parlemen, Senayan.
Ketika didesak siapa empat nama yang dinyatakan melanggar etika tersebut, Prakosa berkelit. "Dalam mekanisme (beracara di BK) bahwa jika sanksi putusan itu berat akan disampaikan dalam rapat paripurna, kalau sanksi sedang dan ringan akan disampaikan langsung kepada yang bersangkutan dan fraksi kemudian ke publik."
Prakosa menegaskan, BK memutuskan sanksi yang diberikan kepada empat orang tersebut dalam kategori ringan dan sedang. "Kalau ringan itu ada dua kemungkinan. Teguran lisan dan teguran tulis. Kalau sedang itu pemindahan dari alat kelengkapan, kalau sebagai pimpinan dicopot dari pimpinan," papar dia.
Mengapa bukan sanksi berat berupa pemecatan yang diberikan? Menurut Prakosa, BK tidak mendapatkan bukti berupa rekaman video atau kata-kata yang jelas mengenai pemerasan tersebut.
"Ada yang kami dapatkan dari sumber lain, tapi apapun ini bukti-bukti keras sampai saat ini kita tidak mendapatkan. (Bukti) dari direksi BUMN itu hanya keterangan saja," ungkapnya.
Sedangkan untuk tiga nama yang salah identifikasi itu adalah anggota Fraksi Partai Demokrat Andi Timo Pangerang, dan dua anggota Fraksi PAN M Ichlas El Qudsi dan Muhammad Hatta.
"(Tudingan) itu salah alamat, artinya itu disebut tapi ikut mereka tidak ikut sama sekali," ujar Prakosa.
Selain itu, tiga nama yang tidak terbukti memeras direksi BUMN adalah I Gusti Agung Rai Wirajaya, Linda Megawati, dan Saidi Butar Butar.
Ringannya sanksi terhadap para pelanggar etika itu tentu saja akan menjadi pertanyaan publik. BK DPR harus menjelaskan mengapa mereka tidak memberikan tindakan tegas.
Kasus ini, seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk memperbaiki internal mereka. Saatnya mereka membuktikan, lembaga legislatif itu masih dapat dipercaya oleh rakyat yang memilih para anggotanya.
Sumber: Merdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar